Pancake Durian Barokah
Tulisan Indah
Desember 26, 2014
0 Comments
Jono.
Panggil saja begitu. Seorang teman yang cerdas, memiliki percaya diri tinggi,
juga pekerja keras. Di sisi lain, Jono sangat buruk dalam hal ibadah. Ia juga
dikenal pelit oleh teman-teman lain.
Kata-katanya juga sangat sering menyayat hati orang lain.Lidahnya seperti
samurai. Mungkin hanya aku yang tidak pernah tersinggung dengan perkataan Jono.
Ya, aku mengertilah bagaimana menghadapi manusia seperti itu.
Pagi itu gedung fakultas mulai ramai, aku dan teman-teman
duduk-duduk di pelataran. Pelataran gedung tentunya. Dari kejauhan aku
mengamati sosok laki-laki paruh baya, berjalan menjajakan dagangannya kepada para
mahasiswa. Dengan jalannya yang sedikit (maaf) pincang, laki-laki itu membawa
tas dan memegang tiga kemasan pancake
durian. Tiap satu kemasan berisi dua pancake dengan harga sepuluh ribu
perak.
Aku
tersenyum dalam hati. Hari ini Allah kembali mengingatkanku untuk selalu
bersyukur dan tidak berputus asa. Bapak itu dengan kondisinya, masih mau
berusaha mencari nafkah halal dengan berjualan pancake durian. Maka sudah
seharusnya aku yang masih muda dan bugar bisa melakukan lebih dari itu.
Hingga
sampailah sang bapak menjajakan padaku dan teman-teman. “Pancakenya, nak ?”
Bapak itu menawarkan pada kami. Aku menggelengkan kepala. Begitupun
teman-temanku. Aku sedang tidak punya uang pecahan sepuluh ribu dan sedang program penghematan uang jajan. Aku
pikir untuk membeli pancake itu lain kali saja.
Kami
duduk di pelataran cukup lama. Membunuh waktu dengan lawakan-lawakan tidak
penting. Sepertinya matahari sudah meninggi. Jono baru datang untuk bergabung
dengan kegilaan kami. Tawa menyatu. Tiba-tiba, seorang laki-laki paruh baya
menawarkan dagangannya. “Pancakenya, nak?” Oh, bapak yang tadi. Mungkin bapak
itu lupa bahwa tadi dia sudah menawarkan pada kami. Aku lagi-lagi menggeleng.
“Berapa
satu bungkusnya, pak?” Jono bertanya. Mungkin dia lapar. “Sepuluh ribu, nak”
Jawab bapak dengan senyumnya. Dan akhirnya Jono membeli pancake durian itu.
Jono menawarkan pancake manis itu pada kami. Aku kira hanya basa basi. Tapi
anehnya, kali ini Jono membiarkan kami menghabiskan pancake itu tanpa ia makan
sedikitpun. Sangat tidak biasa. “Kenapa kamu tidak makan, Jon?” tanyaku
penasaran. “ Aku tidak suka durian” jawab Jono singkat. “Lah, kenapa dibeli?”
tanyaku kembali. “Kasihan aja” Jono menjawab dengan lebih singkat.
“Ohh”
Hanya itu kata yang sanggup aku ucapkan saat itu. Malu. Sangat malu pada diri
sendiri. Aku dengan kerudung lebar ini tidak tergerak hatinya untuk membantu
bapak itu. Aku yang katanya aktivis dakwah kampus, tidak tergerak hatinya untuk
membeli satu bungkus saja pancake itu hanya karena alasan tidak punya uang
pecahan sepuluh ribu. Sementara Jono yang terkenal pelit seantero kampus, dia
mau mengeluarkan uangnya untuk meringankan beban bapak itu. Aku begitu
memalukan.
Selama ini kita manusia hanya bisa
menghitung keburukan orang lain. Mungkin karena keburukan orang lain itu
terlalu sedikit sehingga dapat dengan mudah dihitung. Akan tetapi kita selalu
kesulitan menghitung keburukan
diri sendiri. Mungkin juga karena keburukan kita yang terlalu banyak sehingga
sulit untuk dihitung. Walaupun dengan mesin penghitung tercanggih.
Kita dapat dengan mudah menilai
seseorang dari hasil perhitungan tentang keburukan tadi sehingga didapatlah skor
nilai yang sangat rendah tentang kepribadian seseorang tersebut. Padahal
data-data yang kita peroleh untuk perhitungan kepribadian itu tidak akurat.
Seperti cerita Jono, mungkin diri
kita tidak jauh lebih baik daripada orang yang sering kita cemooh. Mungkin saja
hati mereka lebih mulia. Hanya karena satu dua kali kita melihat mereka
melakukan kesalahan, belum berarti mereka buruk. Mari lihat diri kita lebih
dalam agar tahu mana bagian yang perlu diperbaiki.
Lihatlah betapa indah kasih sayang Allah.
Pancake durian pun bisa menjadi jalan menuju perbaikan diri. Semoga Allah
selalu mengingatkan kita meski dengan hal sekecil apapun. Insya Allah.