Instagram

@indahetika19

Jumat, 26 Desember 2014

Pancake Durian Barokah

                Jono. Panggil saja begitu. Seorang teman yang cerdas, memiliki percaya diri tinggi, juga pekerja keras. Di sisi lain, Jono sangat buruk dalam hal ibadah. Ia juga dikenal pelit oleh teman-teman lain. Kata-katanya juga sangat sering menyayat hati orang lain.Lidahnya seperti samurai. Mungkin hanya aku yang tidak pernah tersinggung dengan perkataan Jono. Ya, aku mengertilah bagaimana menghadapi manusia seperti itu.
            Pagi itu gedung fakultas mulai ramai, aku dan teman-teman duduk-duduk di pelataran. Pelataran gedung tentunya. Dari kejauhan aku mengamati sosok laki-laki paruh baya, berjalan menjajakan dagangannya kepada para mahasiswa. Dengan jalannya yang sedikit (maaf) pincang, laki-laki itu membawa tas dan memegang tiga kemasan pancake durian. Tiap satu kemasan berisi dua pancake dengan harga sepuluh ribu perak.
Aku tersenyum dalam hati. Hari ini Allah kembali mengingatkanku untuk selalu bersyukur dan tidak berputus asa. Bapak itu dengan kondisinya, masih mau berusaha mencari nafkah halal dengan berjualan pancake durian. Maka sudah seharusnya aku yang masih muda dan bugar bisa melakukan lebih dari itu.
Hingga sampailah sang bapak menjajakan padaku dan teman-teman. “Pancakenya, nak ?” Bapak itu menawarkan pada kami. Aku menggelengkan kepala. Begitupun teman-temanku. Aku sedang tidak punya uang pecahan sepuluh ribu dan sedang program penghematan uang jajan. Aku pikir untuk membeli pancake itu lain kali saja.
Kami duduk di pelataran cukup lama. Membunuh waktu dengan lawakan-lawakan tidak penting. Sepertinya matahari sudah meninggi. Jono baru datang untuk bergabung dengan kegilaan kami. Tawa menyatu. Tiba-tiba, seorang laki-laki paruh baya menawarkan dagangannya. “Pancakenya, nak?” Oh, bapak yang tadi. Mungkin bapak itu lupa bahwa tadi dia sudah menawarkan pada kami. Aku lagi-lagi menggeleng.
“Berapa satu bungkusnya, pak?” Jono bertanya. Mungkin dia lapar. “Sepuluh ribu, nak” Jawab bapak dengan senyumnya. Dan akhirnya Jono membeli pancake durian itu. Jono menawarkan pancake manis itu pada kami. Aku kira hanya basa basi. Tapi anehnya, kali ini Jono membiarkan kami menghabiskan pancake itu tanpa ia makan sedikitpun. Sangat tidak biasa. “Kenapa kamu tidak makan, Jon?” tanyaku penasaran. “ Aku tidak suka durian” jawab Jono singkat. “Lah, kenapa dibeli?” tanyaku kembali. “Kasihan aja” Jono menjawab dengan lebih singkat.
“Ohh” Hanya itu kata yang sanggup aku ucapkan saat itu. Malu. Sangat malu pada diri sendiri. Aku dengan kerudung lebar ini tidak tergerak hatinya untuk membantu bapak itu. Aku yang katanya aktivis dakwah kampus, tidak tergerak hatinya untuk membeli satu bungkus saja pancake itu hanya karena alasan tidak punya uang pecahan sepuluh ribu. Sementara Jono yang terkenal pelit seantero kampus, dia mau mengeluarkan uangnya untuk meringankan beban bapak itu. Aku begitu memalukan.
Selama ini kita manusia hanya bisa menghitung keburukan orang lain. Mungkin karena keburukan orang lain itu terlalu sedikit sehingga dapat dengan mudah dihitung. Akan tetapi kita selalu kesulitan menghitung keburukan diri sendiri. Mungkin juga karena keburukan kita yang terlalu banyak sehingga sulit untuk dihitung. Walaupun dengan mesin penghitung tercanggih.
Kita dapat dengan mudah menilai seseorang dari hasil perhitungan tentang keburukan tadi sehingga didapatlah skor nilai yang sangat rendah tentang kepribadian seseorang tersebut. Padahal data-data yang kita peroleh untuk perhitungan kepribadian itu tidak akurat.
Seperti cerita Jono, mungkin diri kita tidak jauh lebih baik daripada orang yang sering kita cemooh. Mungkin saja hati mereka lebih mulia. Hanya karena satu dua kali kita melihat mereka melakukan kesalahan, belum berarti mereka buruk. Mari lihat diri kita lebih dalam agar tahu mana bagian yang perlu diperbaiki.

Lihatlah betapa indah kasih sayang Allah. Pancake durian pun bisa menjadi jalan menuju perbaikan diri. Semoga Allah selalu mengingatkan kita meski dengan hal sekecil apapun. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar